BAB I
PENDAHULUAN.
Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan hilangnya keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta plularisme. Di antara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan sangat penting, setelah sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validasi pandangan hidup sosial politik. Tulisan ini tidak membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani”, tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis filosofis tentang elemen utama “masyarakat madani” yang ada dalam wawasan Islam, di samping pengalaman praktis dalam sejarah masyarakat Muslim. Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religious attitude) serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan unsur yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, coba didiskusikan pula wawasan Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya “masyarakat madani”.
BAB 2
PEMBAHASAN.
Pengertian Masyarakat Madani.
Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti golongan atau kumpulan.
Sedangkan dalam bahasa Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society dan atau community. Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang communitysebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat.
Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional.
Terdapat kata kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata kunci yang memiliki eksistensi kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai dasar bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam istilah-istilah “ummah Islamiyah, ummah Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain, merupakan penata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW segera setalah hijrah di Madinah.
“Ummah” dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.
Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Ansahar). Khusus bagi kaum muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial alternatif pengganti sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.
Hal di atas menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”. Istilah pertama, “khilafah”, disebutkan sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi kesemuanya bukan dalam konotasi sistem politik, tapi dalam konteks misi kehadiran manusia di muka bumi. Oleh karena itu, penisbatan konsep “khilafah” dengan institusi politik tidak mempunyai landasan teologis.
Begitu pula dengan istilah “dawlah”, yang diartikan negara (nation state) dan dipahami sebagai masyarakat madaniyang harus di tegakkan, tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Kata “hukumah” yang diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an memang banyak menyebut bentuk-bentuk dari akar kata “hukumah” yaitu “hukama”, tapi dalam pengertian dan konteks yang berbeda. Ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai untuk menunjukan adanya pemerintahan Islam, seperti yang terdapat dalam teori “hakamiyan” (pemerintahan ilahi) adalah dala surah al-Maidah ayat 44, 45, dan 47. Namun, perlu dicatat bahwa pengertian kata-kata “yahkumu” dalam ayat-ayat tersebut tidak menunjukan konsep pemerintahan.
Kata “ummah” disebut sebanyak 45 kali dalam al-Qur’am. Baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk jamak. Penyebutan al-Qur’an dan juga hadis menunjukan masyarakat madani. Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.
Islam merupakan agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-nilai Islam harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan kemestaan ini menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai nasional ataupun global.
Seperti telah disebutkan diatas, penyebutan kata “ummah”dalam al-Qur’an dan al-Hadis dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukan bahwa “ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai relatif. Artinya bahwa perwujudan “ummah” dalam keragaman realitas sosial budaya kaum muslimin tidak mungkin seragam dan bercorak tunggal. Perwujudan “ummah” akan sangat tergantung kepada realitas sosial budaya tertentu.
Lebih dari itu, “ummah islamiyah” yang di bangun Nabi Muhammad di Madinah merupakan model yang baik (uswatun hasanah) yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya (abad ke-7). Ia mungkin saja tidak seluruhnya relevan dengan kehidupan masyarakat pada abad modern dewasa ini (abad 21). Masyarakat Madani sebagai cita-cita sosial Islam perlu memiliki relevansi dengan kemodernan dan dinamika kebudayaan.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Karakteristik Masyarakat Madani.
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Filsuf Yunani Aristoteles(384-322) yang melihat masyarakat madani sebagai sistem negara atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini adalah tahap pertama dari sejarah wacana masyarakat sipil.
Selama masyarakat sipil Aristoteles dipahami sebagai sistem negara dengan menggunakan istilah ” koinonia politike ”, yaitu komunitas politik di mana warga dapat terlibat langsung dalam berbagai arena ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Perumusan masyarakat sipil dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Hobbes “1588-1679 M” dan John Locke (1632-1704), yang melihatnya sebagai kelanjutan dari evolusi alam society.
According Hobbes, sebagai antitesis dari negara masyarakat sipil memiliki peran untuk mengurangi konflik di masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengendalikan dan mengawasi erat pola interaksi “perilaku politik”setiap warga negara.
Berbeda dengan John Locke, kehadiran masyarakat sipil adalah untuk melindungi kebebasan dan milik setiap warga negara.
Tahap kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana masyarakat madanidengan konteks sosial dan politik di Skotlandia.
Ferguson, menekankan visi etis dari masyarakat madani dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini lahir bukan dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan kesenjangan sosial yang mencolok.
Tahap ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine mulai menafsirkan wacana masyarakat madani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan lembaga-lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis dari Negara. Menurut pandangan ini, Negara tidak lain hanyalah kebutuhan buruk belaka.
Konsep negara yang sah, menurut aliran pemikiran ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat dalam rangka menciptakan sesuatu kesejahteraan bersama.
Semakin sempurna masyarakat sipil, semakin besar kemungkinan untuk mengatur kehidupan warga negaranya sendiri .
Tahap keempat, wacana masyarakat madani dikembangkan lebih lanjut oleh Hegel “1770-1837 M”, Karl Marx “1818-1883 M” dan Antonio Gramsci “1891-1937 M”. Mengingat tiga masyarakat madani merupakan elemen ideologis kelas dominan.
Tahap kelima, wacana masyarakat madani sebagai reaksi terhadap sekolah Hegelian dari Alexis de Tocqueville dikembangkan “1805-1859 M”.
Pemikiran Tocqueville pada masyarakat madani sebagai kelompok kekuatan menyeimbangkan Negara.Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani adalah utama kekuatan yang membuat demokrasi Amerika memiliki daya tahan kuat.
Adapun pencarian pertama dimulai istilah masyarakat madani adalah Adam Ferguson dalam bukunya “An Essay on the History of Civil Society”, yang diterbitkan pada tahun 1773 di Skotlandia . Ferguson menekankan masyarakat sipil pada visi etis bermasyarakat.
Pemahamannya hidup digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang disebabkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta perbedaan mencolok antara individu.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh, antara lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. Hal ini tidak aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh para pemikir dan filsuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya. Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara islam dengan masyarakat madani. Ungkapan apresiatif atau yang bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan, keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat madani.
Disitu, yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih dalam bentuk dan strukturnya yang sederhana. Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian adalah dari mana sumber transformasi atau perubahan itu berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam. Karena sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi disana, baik dilihat dari sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama proses perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi islam adalah membawa atau mengeluarkan masayarakat dari alam kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran islam adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding dengan itu, yang lebih popular adalah kehadiran islam adalah rahmat bagi alam semesta. Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul.
Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain. Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :
Artinya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN.
Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafÅ«r.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar