DANA COST RECOVERY
Dana Cost Recovery atau ada yang menyebut Investment Recovery adalah istilah yang menjelaskan tentang biaya yang harus diganti oleh pemerintah terhadap seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), biaya itu meliputi biaya eksplorasi, biaya pemboran, gaji karyawan, dan lain-lain.
Setiap tahun nilai cost recovery yang dibayarkan oleh pemerintah mengalami peningkatan, hal tersebut yang memberatkan keuangan pemerintah karena didalam kenyataan produksi minyak dan gas bumi terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada awal 2012 rata-rata lifting atau produksi minyak bumi hanya mencapai 906 ribu BPH, yang dibawah harapan pemerintah yaitu 950 ribu BPH. Di Indonesia dana cost recovery terbesar adalah Chevron dan disusul kemudian Pertamina EP. Pada tahun 2012 pemerintah melalui SKK migas mengharapkan produksi untuk Chevron sebanyak 357 ribu BPH. Sedangkan untuk Pertamina EP,SKK migas memasang target produksi sebesar 135 ribu BPH.
Pada tahun 2012 kebutuhan dana cost recovery diperkirakan mencapai 13,34 miliar dollar AS lebih tinggi dari tahun 2011 sebesar 12.3 miliar dollar AS yang terdiri dari 8,68 miliar AS investasi dalam sektor minyak dan investasi di sektor gas sebesar 4,66 miliar dollar AS. Tujuan menaikkan dana cost recovery adalah untuk meningkatkan produksi, misalnya akan diterapkannya teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).
UNDANG-UNDANG MIGAS
Sebelum diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (PSC – Production Sharing Contract) sesuai UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dalam undang-undang tersebut Pertamina ditunjuk oleh pemerintah untuk mewakili melakukan kontrak dengan pengusaha minyak dan gas bumi, yang pada umumnya merupakan perusahaan asing, dan melakukan kontrol kegiatan operasional semua perusahaan migas.
Dari tahun 2001 hingga tahun 2012 ini, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menggantikan UU No. 8 Tahun 1971. Didalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, merubah Kontrak Bagi Hasil (PSC) menjadi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Undang-undang tersebut sekaligus mengalihkan pengelolaan kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina kepada SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi), dan mendudukkan Pertamina sama dengan KKKS yang lain. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002, SKK MIGAS ditetapkan menjadi aparat pemerintah.
ADA APA DENGAN UU No. 22 Tahun 2001
Dalam UU Migas No. 22 Tahun 2001 (pasal pasal 28 ayat 2) ada ketentuan agar harga migas Indonesia diserahkan pada mekanisme persaingan usaha atau mekanisme pasar. Tetapi, pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004. Namun, pada
tahun 2005, gagasan liberalisasi itu dimunculkan lagi melalui Perpres No. 55 Tahun 2005 yang menyerahkan harga BBM pada “harga keekonomian pasar”.
UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas telah membuka peluang kepada korporasi asing untuk menguasai sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi Indonesia. Di sektor hulu, hampir 80-90% ladang minyak Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Apalagi didalam undang-undang, pengelolaan blok oleh Kontrak Kontraktor Kerjasama (KKKS) setelah masa kontraknya habis masih dapat diperpanjang. Seharusnya setelah masa kontraknya habis maka pengelolaan blok harus dikembalikan kepada negara dan tidak boleh diperpanjang lagi. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 2001 sangat merugikan negara dan seharusnya mengembalikan tata-kelola Migas sesuai dengan ketentuan Konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945.
Prinsip pengelolaan Energi menurut Pasal 33 UUD 1945 :
1. Sumber-sumber energi, termasuk minyak dan gas bumi, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2. Proses eksplorasi minyak dan gas bumi seharusnya dijalankan oleh negara melalui perusahaan minyak negara. Oleh karena itu, negara harus melakukan riset untuk mencari sumber-sumber minyak, melatih tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk menguasai eksplorasi migas, dan menciptakan/mendatangkan teknologi yang diperlukan untuk eksplorasi minyak.
3. Pemanfaatan energi harus memprioritaskan kepentingan nasional yaitu untuk industrialiasasi nasional dan menopang ekonomi rakyat.
4. Keuntungan dari sektor minyak dan gas bumi seharusnya dipergunakan untuk membiayai pembangunan dan program-program sosial untuk rakyat (pendidikan, kesehatan, perumahan, sembako, dan lain-lain).
5. Keterlibatan perusahaan asing dalam eksplorasi migas nasional tidak boleh melucuti kedaulatan bangsa dan kedaulatan energi, tidak merugikan penerimaan negara, tidak membayar murah pekerja Indonesia, mau melakukan alih-teknologi, tidak merampas tanah rakyat, dan tidak merusak lingkungan.
Produksi produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun sejak era pemerintahan SBY. Pada tahun 2004, sebelum SBY jadi Presiden, produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional masih berkisar 1,4 juta BPH. Namun, pada akhir tahun 2011 produksi minyak Indonesia hanya 905.000 BPH. Dan pada awal tahun 2012 produksi minyak hanya sekitar 890.000 BPH.
Kontrak-kontrak migas Indonesia banyak yang merugikan pemerintah. Misalnya di sektor gas, Indonesia dirugikan oleh kontrak penjualan LNG ke sejumlah negara. Salah satu contoh harga jual LNG Tangguh di Papua yang dioperasikan oleh British Petroleum hanya 3,35 dollar AS per MMBTU, mengapa tidak diserahkan Pertamina sebagai operator. Pertamina mengoperasikan Blok Badak dan menjual 6 dollar AS per MMBTU. Sedangkan harga normal di pasar dunia bisa mencapai 18 dollar AS per MMBTU. Sehingga dari lapangan Tangguh di Papua, Indonesia kehilangan sekitar Rp 30 Triliun per tahun.
Indonesia dibebani pembayaran cost recovery yang tidak transparan. Sampai saat ini, besaran cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp 100 triliun. Sebagian besar biaya cost recovery ini adalah mark-up. Besarnya pembayaran cost-recovery ini menyebabkan mengecilnya penerimaan negara dari sektor migas.
Refferensi : Materi Kuliah Energi
Artikel terkait : Sumber Energi Fosil 2,
Indonesia dibebani pembayaran cost recovery yang tidak transparan. Sampai saat ini, besaran cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp 100 triliun. Sebagian besar biaya cost recovery ini adalah mark-up. Besarnya pembayaran cost-recovery ini menyebabkan mengecilnya penerimaan negara dari sektor migas.
Refferensi : Materi Kuliah Energi
Artikel terkait : Sumber Energi Fosil 2,
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar